Teman-teman simpatisan online dan anggota Gerindra, apa kabar?
Nggak terasa, sekarang sudah 2014, dan pilpres tinggal menghitung hari.
Kita nggak saling kenal, memang. Sudah lama sekali saya nggak ikutan
teman-teman bersuara di ruang maya kita, walau dulu sempat rajin, di
tahun 2009. Waktu itu, belum banyak yang kenal media sosial Twitter, dan
jejaring sosial Facebook jadi tempat sebagian dari kita berkenalan.
“FbPS”, dulu kita menyebutnya, halaman Facebook Prabowo Subianto. Seru,
semangat, dan masih ingat dulu hebohnya waktu akun pertama entah kenapa
diblokir. Selama 5 tahun, kampanye Gerindra dan Prabowo berkembang
lumayan rapi di media sosial, dan sekarang jadi salah satu partai besar.
Tepuk tangan untuk semua.
Selama 5 tahun pula, rasanya pergerakan Gerindra lumayan baik. Selain
punya idealisme, selalu memiliki program. Dan walau ada cegukan
sana-sini, dan tetap ada juga yang tersangkut korupsi, yah relatif
lumayan lah. Wakil yang di DPR tidak diijinkan ikut-ikutan studi banding
ke luar negeri, misalnya, salah satu gesture kecil yang mendengarkan
kritik masyarakat. Kita punya Ahok yang sangat membanggakan, juga ada
Ridwan Kamil. Ada lagi lah beberapa hal yang bisa dibanggakan, selain
gesture dan sikap kritis konsisten pada pemerintahan SBY, juga Partai
Demokrat yang berkuasa. Tapi saya bahas ini bukan untuk kampanye.
Perubahan luar biasa terjadi di Gerindra dan juga Prabowo, di jelang
menit terakhir Pemilu ini. Pertanda pertama adalah ketika rekanan lama,
PDI-P, mengumumkan pencalonan Jokowi sebagai presiden. Mendadak,
Gerindra dan Prabowo yang selama ini berwibawa dan kalem seperti panik.
Dan sialnya, panik ini terwujud dalam sikap dan tindakan
kekanak-kanakan, yang mestinya jauh dari ekspektasi kita pada Gerindra,
juga Prabowo. Mulai dari merajuk, ‘ngambek’, lalu beralih menjadi
menyerang capres PDI-P dengan berbagai cara, dari sindiran merendahkan
sampai puisi kacangan. Setelah petinggi seperti Fadli Zon melakukan ini,
menularlah ke simpatisan dan kader, yang sebagian sudah menjadi
fanatis. Beberapa teman yang tadinya heboh serba memuji Jokowi dan
ikutan berkotak-kotak waktu pemilihan gubernur DKI berbalik total dalam
sekejap, menjadi menjelekkan dengan berbagai cara. Bukan ini Gerindra
yang saya dukung, tapi oke lah, saya masih punya sisa harapan pada
Prabowo dan idealisme nya. Kalau pada Fadli Zon yang begitu tegas
menjawab Fadjroel di talkshow TV mengatakan “Soeharto tidak korupsi”,
saya sudah tidak punya harapan.
Hasil pileg ternyata luar biasa, tepuk tangan lagi untuk teman-teman
yang sudah membawa partai menjadi besar. Teman-teman yang satu idealisme
dan harapan. Salut, saya nggak menyangka Gerindra tumbuh sebesar itu.
Penting untuk diperhatikan kita, bahwa sejak pileg, hampir semua
‘idealisme’ Gerindra jadi seperti tinggal tulisan. Sekarang, apapun akan
dilakukan demi kemenangan Prabowo. Termasuk menjilat ludah sendiri.
Di detik-detik terakhir ini kita lihat bagaimana Prabowo akan
menghampiri siapa saja, demi mencari sekutu. Termasuk pihak-pihak yang
dari dulu sebetulnya diposisikan sebagai lawan dari idealisme Gerindra.
Setelah dulu sibuk dengan gagahnya menyindir dan mencibir pihak-pihak
ini, sekarang kita lihat bagaimana pemimpin dan petinggi mendadak mau
menghampiri dan bernegosiasi. Kalimat semacam “kesamaan visi” atau
“kesamaan platform” mendadak muncul. Yang dulu disindir, mendadak
dipuji. Sekali lagi, partai ini berbalik, dan bagi saya selesai sudah
harapan pada Prabowo.
Kita yang awam pun paham, katanya dalam politik, tidak ada musuh
abadi. Yang ada hanyalah kepentingan abadi. Intinya, dalam mencapai
kepentingan ini, harus ada kompromi. Setuju sekali. Nggak realistis
kalau kita ngotot idealis, dan akhirnya tidak bergerak sama sekali. Tapi
rasanya, ada yang namanya kompromi, dan ada yang namanya melacur. Untuk
dapatkan yang diinginkan, rela tidur dengan siapa saja.
Itukah yang kita dukung? Coba lihat, tidak cukup seranjang dengan
saudagar lumpur, di detik terakhir pun mencoba merayu geng biru. Semua
omongan gagah kritis dan sikap yang katanya dipegang, ke laut sudah.
Menggelikan juga melihat teman-teman yang dari kemarin selalu
kampanye sendiri lewat internet kembali berbalik sikap dan seperti
ikutan melacur. Yang tadinya berkotak-kotak memuja Jokowi sekarang sibuk
membuat berbagai materi yang mencela sang capres PDI-P. Dari yang
selalu mengungkit soal lumpur bahkan ikutan membuat lawakan boneka
beruang, sekarang menyambut bergabungnya Golkar bak pahlawan. Dan yang
tadinya selalu rajin mengkritik SBY dan PD nya kini membela diri “tapi
dari dulu Prabowo memang selalu hormat pada SBY”. Pembelaan terakhir,
cuma soal tata krama kalau ketemuan.
Melihat ini semua, saya sudah tidak bisa lagi mendukung, apalagi
percaya dengan Gerindra, juga Prabowo. Kecewa, tapi juga tidak terlalu
dalam. Karena sejak awal mendukung, saya memang berjanji tidak akan
menjadi fanatik. Teman-teman dekat tahunya saya pendukung fanatik
Prabowo, karena memang sejak 2009 saya menunjukkan sikap suporter, juga
mengantungi kartu anggota Gerindra. Tapi amit-amit, insyaAllah saya
tidak akan jadi fanatis apapun. Sekarang, ini soal teman-teman.
InsyaAllah pula, teman-teman tidak menjadi fanatis dan bisa membuka
mata, berusaha menilai secara obyektif. Apakah ini Gerindra dan Prabowo
yang dulu kita dukung idealismenya? Saya yakin, tidak semua dari kita
setuju dan mau menurut buta untuk ikutan berbalik dari kritis menjadi
merayu lawan. Demi apa?
“Gerindra menang, Prabowo presiden.”?
Segala cara untuk itu, persetan idealisme? Seingat saya, kita
mendukung sesuatu dengan tujuan akhir Indonesia yang lebih baik.
Bagaimana mencapai itu dengan begitu banyak kompromi akan idealisme
sendiri? Bagaimana rasanya menjilat kembali ludah di tanah, enak? Saya
nggak ikutan, bukan ini yang saya dukung. Saya yakin, banyak diantara
teman-teman sama. Saya nggak gengsi berbalik membatalkan sikap mendukung
pada yang ingkar, ketimbang ikutan melacur.
Teman-teman, harapan saya seenggaknya ocehan ini sekedar memberi
semenit dua menit pertimbangan ulang. Terserah mau dukung siapa, itu
sudah pasti. Inginnya, saya tetap mendukung Prabowo yang saya yakini
lebih bisa meng-handle negeri ini ketimbang yang lain. Tapi itu sudah
tidak bisa.
Pada akhirnya, semoga kita ingat, kita mendukung sesuatu yang kita
percaya bisa membuat Indonesia yang lebih baik. Bukan asal si A, B, X,
Y, jadi presiden.
Operasi Selamatkan Indonesia? Gagah memang kedengarannya, walau jadi
ironis. Kita justru perlu menyelamatkan Indonesia dari semua kubu yang
diajak bergabung dalam koalisi Gerindra. Teman-teman Gerindra, ini
tikungan terakhir. Tancap gas bisa berarti masuk jurang, apakah kita
ikut ke sana?
Top News,
Garuda Emas di Tikungan Terakhir
Posted by Unknown
Published on Jumat, 23 Mei 2014
Oleh : Rayafahreza
Penulis adalah mantan aktivis/kader Gerindra
Posted on
Author : Unknown
Setelah anda membaca artikel tentang Garuda Emas di Tikungan Terakhir jika bermanfaat, silahkan tekan tombol Share. Anda juga boleh menyalin / menyebarluaskan artikel ini, namun jangan lupa untuk meletakkan link dibawah ini sebagai sumbernya :
Terima kasih
Terima kasih
Artikel Terkait : Top News
0 komentar
Readers Comments
Isi Komentar Anda
Komentar adalah tanggapan pribadi, tidak mewakili kebijakan blog Jokowi For President. Admin berhak mengubah atau menghapus kata-kata yang tidak etis, kasar, berbau fitnah dan pelecehan, intimidasi, bertendensi suku, agama, ras, dan antar golongan. Setiap komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengirim.