Al-Hikmah,
Jalan Sunyi Gede Pasek
Posted by Unknown
Published on Sabtu, 11 Januari 2014
DI tengah gemuruh politik nasional dan
hiruk-pikuk di partai biru yang kering-kerontang, saya melihat satu
embun kecemerlangan pada sosok Gede Pasek Suardika. Di saat sahabatnya
dicaci dan dimaki banyak orang, ia tetap tenang dan menjawab cacian itu
dengan argumentasi yang positif. Ia tetap menemani sahabatnya, bahkan di
saat-saat paling sulit dalam kehidupannya. Ia beda dengan politisi lain
yang biasanya menjadi ‘penyanjung di saat jaya, dan pemaki di saat terpuruk’.
***
DI gedung Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), Gede Pasek Suardika datang mendampingi Anas Urbaningrum
yang hendak diperiksa sebagai tersangka kasus Hambalang. Semua media
langsung mengarahkan sorotan kamera ke rombongan kecil mereka. Gede
Pasek tak menghindar. Ia tetap hadir dan jalan bersisian dengan Anas.
Senyum tak pernah lepas dari bibir politisi asal Bali ini.
Entah, apakah ia tahu bahwa di tanah
air, seorang terduga korupsi dianggap membawa penyakit yang bisa
menjangkiti siapapun yang mendekatinya. Tidakkah ia khawatir kalau
dirinya akan ikut dibuang dalam peta politik nasional sebagaimana para
tertuduh lainnya? Tidakkah ia memikirkan posisinya sebagai anggota DPR
RI dari sebuah partai yang tengah berkuasa? Mengapa pula ia tak menjauhi
sahabatnya ketika dirinya telah dirotasi sampai empat kali di DPR RI?
Lelaki asal Singaraja itu memang
tenang. Di saat semua orang meninggalkan Anas dan mencari jalan selamat
dari posisi di partai ataupun parlemen, Pasek tetap tak beranjak. Ia tak
hendak ikut jadi pencaci atau penghujat. Ia tetap memosisikan dirinya
sebagai sosok yang tak akan pernah meninggalkan sahabatnya demi untuk
mengejar titik nyaman. Demi sahabat itu, ia ikut menerima cacian serta
hujatan, yang justru semakin membesarkan dirinya.
Saya belum pernah bertemu dengannya.
Namun saya terkesima saat melihat dirinya pada dialog yang dipandu
Karni Ilyas. Saat itu, ia belum lama di-lengserkan dari posisi Ketua
Komisi III. Ketika beberapa politisi seperti Ruhut Sitompul menyanjung
SBY dan menjelekkan Anas, ia tak mau ikut larut. Saya menyaksikan bahwa
beberapa kali ia seakan dipaksa untuk mmberikan komentar kasar kepada
ketua partai yang melengserkannya. Ia tetap tidak mau melakukannya.
Ia hanya berkata singkat bahwa ia tak
ingin masuk dalam dikotomi antara menyanjung dan membenci. “Bagi saya,
SBY adalah guru, dan Anas adalah sahabat. Posisi itu tak akan pernah
berubah. Keduanya telah memberi warna bagi kehidupan saya. Sungguh tak
adil jika disuruh memilih salah satu,” katanya. Meskipun ia beberapa
kali mengkritik SBY, ia melakukannya dalam konteks untuk pembenahan
partai itu. Ia tak latah mengkritik dengan cara membabibuta sebagaimana
dilakukan politisi karbitan lainnya.
Pasek memang sangat dekat dengan
Anas. Ketika Anas menjadi ketua umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI),
Pasek menjabat sebagai ketua Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia
(KMHDI). Persahabatan mereka lalu berlanjut hingga parlemen, ketika Anas
terpilih sebagai Ketua Fraksi Demokrat. Hingga akhirnya Anas
mengundurkan diri, dan partai itu lalu menggelar konser luar biasa di
Bali.
Ia memilih untuk tidak masuk arena
kongres. Ia berjalan-jalan di sekitar Bali, lalu membeli patung wayang
Sangkuni, sebagai simbol dari pilihan politiknya. Apakah ia tidak loyal
pada partainya? Lelaki yang punya banyak pengalaman sebagai jurnalis ini
punya pendapat sendiri. Bahwa loyalitas tidak diukur dari seberapa
panjang lidah dalam menjilat seorang pengendali partai. Loyalitas harus
diukur pada seberapa besar kontribusi bagi partai di daerah-daerah,
seberapa besar pengaruh seseorang dalam menaikkan suara, bagaimana
mengawal agenda strategis kerakyatan, serta bagaimana menjaga suara
rakyat agar tidak redup di parlemen.
Dunia politik kita memang dipenuhi
para sengkuni. Ada banyak para pemain politik yang berkeliaran dan
setiap saat bisa berganti muka. Mereka memenuhi panggung politik demi
mengatasnamakan rakyat serta nilai-nilai keluhuran. Demi nilai keluhuran
itu, segala tipu daya dan saling jegal menjadi sesuatu yang dianggap
sah dalam dunia politik. Di tangan orang-orang seperti Pasek, politik
menjadi satu arena untuk menegaskan nilai, meskipun posisi itu kelak
akan tak nyaman bagi pemegang kuasa. Tapi demi nilai-niai itu, seseorang
mesti menjadi martir untuk menunjukkan pada banyak orang bahwa ada
sesuatu yang salah di situ.
Pasek, lelaki yang menuliskan ajaran leluhur Bali dalam buku 108 Tips Niskala
nampaknya meyakini bahwa setiap pilihan politik adalah gerak material
dari refleksi serta kontemplasi. Boleh jadi, pilihan itu adalah
manifestasi dari jalan spiritual yang dipilihnya. Seorang penganut jalan
spiritual selalu ingin memanifestasikan semua ajaran yang diyakininya
pada jalan yang akan dipilihnya, sepahit apapun itu. Ia melihat matahari
yang memandu gerak langkahnya, kemudian menanggung segala konsekuensi
pahit atas apa yang dilihatnya.
Dalam khasanah filosofis, niskala
adalah sesuatu yang abstrak, maya, dan tak berwujud, namun sejatinya
menempati satu wujud. Sebuah meja nampak diam, namun jika ditelusuri
pada level niskala, di dalam meja tersebut terdapat banyak elektron yang
sedang bergerak. Di dalam meja itu ada banyak gerak, yang hanya bisa
disaksikan oleh mereka yang menajamkan seluruh indera.
Kehidupan, sebagaimana diyakini Pasek
dalam bukunya adalah keseimbangan melakoni peran antara jasmani-rohani
dan sekala-niskala. Manusia yang paripurna adalah manusia yang memahami
hakekat kehidupan, dan selalu menggapai titik harmonis bersama alam
semesta. Letusan gunung tak selalu jadi pertanda buruk, melainkan momen
bagi alam untuk mengembalikan kesuburan tanah. Bencana alam tak selalu
jadi bencana, seringkali membawa berkah bagi manusia untuk dihayati dan
direnungi. Mungkinkah Pasek meyakini bahwa jalan yang dipiihnya bersama
Anas akan nampak kacau, salah, serta berpotensi untuk dihujat, namun
selalu ada pesan-pesan bijak yang hendak disampaikannya? Entahlah.
Serupa permainan catur, pengadilan
bagi Anas akan menjadi arena untuk menguji sejauh mana keyakinan Pasek
akan jalan yang dipiihnya. Namun terlepas dari benar atau salah, sosok
tenang itu telah menunjukkan makna persahabatan yang tak akan pernah
tergadaikan oleh apapun. Ketika sahabatnya di bibir jurang, ia memilih
untuk bersetia bersamanya, dan tidak hendak menjadi sosok oportunis.
Beberapa kali ia mengatakan, “Saya tak ingin mengorbankan persahabatan saya demi untuk materi dan posisi.”
Pria asal Pulau Dewata itu bukanlah
seorang ronin yang kerap ikut arus ke manapun. Ia adalah samurai yang
setia dengan segala tekad dan janji persahabatan. Ia menemani sang
sahabat sekaligus menunjukkan konsistensinya untuk menghargai setiap
kata yang pernah diucapkannya.
Seorang teman di gedung KPK
menuturkan, ketika Pasek dan Anas jalan bersisian di gedung itu, Pasek
sempat membisikkan sesuatu. Sesaat sebelum Anas masuk ke ruang
pemeriksaan, Pasek berbisik, “Hari ini mungkin kita akan kalah. Tapi
kita telah membuka mata orang tentang sesuatu yang sedang terjadi. Kita
tak benar-benar kalah.”
Author : Unknown
Setelah anda membaca artikel tentang Jalan Sunyi Gede Pasek jika bermanfaat, silahkan tekan tombol Share. Anda juga boleh menyalin / menyebarluaskan artikel ini, namun jangan lupa untuk meletakkan link dibawah ini sebagai sumbernya :
Terima kasih
Terima kasih
Artikel Terkait : Al-Hikmah
0 komentar
Readers Comments
Isi Komentar Anda
Komentar adalah tanggapan pribadi, tidak mewakili kebijakan blog Jokowi For President. Admin berhak mengubah atau menghapus kata-kata yang tidak etis, kasar, berbau fitnah dan pelecehan, intimidasi, bertendensi suku, agama, ras, dan antar golongan. Setiap komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengirim.