twitter facebook rss

,

Yap Thiam Hien, sang pembela mereka yang tertindas





 

Lahir dan besar di lingkungan perkebunan yang feodalistis di Aceh menjadi pengalaman yang terpatri di diri Yap Thiam Hien. Bagaimana tidak, kesewenang-wenangan dan penindasan menjadi makanan sehari-hari yang Yap lihat semasa itu.

Bahkan dirinya pun mendapat perlakuan yang berbeda saat bersekolah di ELS (Europeesche Lagere School), sebuah sekolah khusus orang Belanda. Diskriminasi pun dirasakan Yap saat dia hanya mendapat nilai 6 atau kurang dalam pelajaran bahasa Belanda di sekolah itu.

Sejak itulah tertanam di dalam diri Yap untuk menjadi advokat orang-orang yang dianggap penentang kekuasaan.

"Saya bukan saja membela pendakwa, tetapi terutama kebenaran dan keadilan," kata Yap yang tertuang dalam buku biografi 8 tokoh Tionghoa berjudul 'Tokoh Tionghoa dan Identitas Indonesia' terbitan Komunitas Bambu tahun 2010.

Yap memang tidak menyukai kekuasaan. Dia menganut kepercayaan Lord Acton, bahwa kekuasaan cenderung korup.

"Bilamana kekuasaan merajalela hampir tanpa batas, pada galibnya kepastian hukum akan lenyap dan rasa ketakutan mulai tertanam. Pada puncaknya nanti, perasaan perlahan-lahan berubah menjadi kebencian kepada penguasa. Kepercayaan dan harapan pada penguasa sebagai pengayom dan pelindung akan makin meluntur sedikit demi sedikit," ujar Yap.

Banyak terdakwa yang dibela Yap. Mulai dari zaman Orde Lama Liem Koe Nio, yang dituduh melakukan tindak subversif ekonomi karena menimbun barang. Liem disinyalir sebagai tokoh Kuomintang, organisasi politik yang saat itu dibenci pemerintah Soekarno.

Berlanjut di zaman Orde Baru, Yap membela Dr Subandrio yang terlibat G30S/PKI. Kemudian tahun 1967, ia membela Direktur PT Quick yang katanya diperas oleh petugas.

Tak lama dari pembelaannya itu, Yap tiba-tiba ditangkap karena diduga terlibat dalam kasus G30S/PKI. Karena reaksi masyarakat kuat, Yap pun dibebaskan.

Sepak terjang Yap berlanjut tidak cuma di Indonesia. Ia menjadi pendiri Dewan Kawasan HAM di Asia pada tahun 1980. Hingga tahun 1996, ia dan rekannya mendirikan Lembaga Pembela Hak Azasi Manusia (HAM). Bersama Adnan Buyung Nasution, pada tahun 1970 mereka merintis Lembaga Bantuan Hukum (LBH).

Menurutnya, seorang sarjana hukum harus menjunjung prinsip HAM dan proses hukum. Dari sini, Yap pun sering bentrok dengan orang dan instansi yang mencoba mengabaikan prinsipnya tersebut.

Karena mempertahankan prinsipnya, dia pun sering mengalami kesusahan. Meski begitu, ia pantang menitikkan air mata. Bak tabiat 'kerbau', kalau sudah yakin dengan kebenaran, Yap memperjuangkannya (dengan) main tabrak, tidak kenal siasat.

Tokoh Tionghoa yang anti ganti nama ini pun dikenal dengan sosok yang kompleks dan kontroversial. Yap tetap membela HAM dan simpati pada orang-orang tertindas, orang-orang kecil, dan bersedia membela keadilan tanpa pandang bulu. Hingga akhirnya ia berhasil menjadi lambang hukum dan HAM di Indonesia.
Namanya diabadikan sebagai penghargaan tertinggi untuk mereka yang berjuang menegakkan HAM di Indonesia.


Sumber :

Bagikan artikel ke teman anda: Facebook Twitter Google+ Linkedin Technorati

Author : Unknown

faceblog evolutions Setelah anda membaca artikel tentang Yap Thiam Hien, sang pembela mereka yang tertindas jika bermanfaat, silahkan tekan tombol Share. Anda juga boleh menyalin / menyebarluaskan artikel ini, namun jangan lupa untuk meletakkan link dibawah ini sebagai sumbernya :
Terima kasih

0 komentar

Readers Comments

Isi Komentar Anda
Komentar adalah tanggapan pribadi, tidak mewakili kebijakan blog Jokowi For President. Admin berhak mengubah atau menghapus kata-kata yang tidak etis, kasar, berbau fitnah dan pelecehan, intimidasi, bertendensi suku, agama, ras, dan antar golongan. Setiap komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengirim.

Top News

Space Iklan (750x100)

Video Pilihan

Our Sponsors

Our Sponsors

Visit Gorontal Info and Guide
deskripsi gambar
Flag Counter